KOTA BAKTI : Aceh Nafas Terakhir Indonesia
( Aceh Nafas Terakhir Indonesia )
“Aceh tak perlu kau banggakan dirimu/Sebab akulah Indonesia yang wijib bangga atas pengorbananmu”
Sayangnya, dalam sejarah kebangkitan nasionalisme ke-Indonesia-an, baik dari abad klasik maupun dalam abat modern saat ini, peranan Aceh seperti terlupakan. Padahal akar nasionalisme yang dimiliki masyarakat Aceh sudah mulai tumbuh sejak abat ke 15 M, pada saat Sultan Ali Mughayat Syah mempersatukan kerajaan-kerajaan yang ada di Aceh dalam satu kedaulatan kerajaan Aceh Darussalam. Secara historis, dalam kronologis sejarah akar kebangkitan nasionalisme yang terjadi di kerajaan Aceh boleh dikatakan sebagai kebangkitan nasionalisme ketiga setelah Sriwijaya dan Majapahit runtuh di Nusantara.
Rasa kesatuan yang telah dibangun Aceh saat itu tidak hanya dalam wilayah Sumatera, tapi juga Pahang dan tanah Melayu lainnya tunduk dalam kesatuan kerajaan Aceh di bawah kepemimpinan seorang Sultan. Jadi, rasa nasionalisme kebangsaan ini telah tumbuh dalam diri masyarakat Aceh sejak berabad-abad yang silam. Hal ini boleh jadi karena pada saat itu semua wilayah di Aceh sedang menghadapi serangan Portugis yang ingin menguasai Aceh.
Secara historis, begitulah akar sejarah terbentuknya rasa kebangsaan dan semangat nasionalisme orang Aceh dalam mempertahankan keutuhan wilayahnya dari serangan bangsa asing. Pengalaman rasa nasionalisme itulah yang kemudian melekat dalam diri orang Aceh dalam perjuangan merebut kemerdekaan Indonesia dari penjajahan Kolonial Belanda. Untuk rasa kebangsaan ini, masyarakat Aceh rela berkorban jiwa dan raga terjun ke medan perang mempertahankan Indonesia tidak hanya dalam wilayah Aceh, tapi rela berperang ke luar Aceh, seperti yang kita kenal dengan perang Medan Area.
NAFAS TERAKHIR INDONESIA
Kita tidak ingin mengungkit cerita lama dari rasa kebangsaan dan sifat nasionalisme orang Aceh terhadap Republik ini. Tapi sejarah telah mencatat, sekiranya Radio Rimba Raya tidak dioperasikan di Aceh sabagai satu-satunya radio yang mengabarkan kepada dunia bahwa Indonesia masih ada, yaitu wilayah Aceh. Sementara semua wilayah-wilayah strategis di Indonesia saat itu telah berhasil diduduki kembali oleh Belanda, maka kita tidak tahu bagaimana nasib Indonesia kalau Radio Rimba Raya yang ada di Aceh tidak menyiarkan kepada dunia bahwa wilayah Indonesia masih ada, mukin saat itu dunia bisa saja mengganggap bahwa Indonesia sudah tidak ada lagi dalam pengakuan Persatuan Bangsa-Bangsa.
Tidak berlebihan bila dikatakan bahwa “Aceh adalah nafas terakhir Indonesia”. Dan kita tidak berani mengatakan bahwa kalau tidak ada Aceh saat itu mungkin “Indonesia telah tamat riwayatnya”. “Indonesia” atau “Keindonesiaan” tidak akan mungkin ada seandainya tidak ada Aceh (tulis Nurcholish Madjid (2001) dalam pengantar buku “Tragedi Anak Bangsa”). Ini sejarah yang harus diketahui oleh anak bangsa yang menjunjung tinggi rasa nasionalisme berbangsa dan bernegara bahwa betapa besar rasa kebangsaan dan nasionalisme yang dimiliki masyarakat Aceh terhadap Indonesia.
Semua itu adalah fakta sejarah yang harus ditulis ulang dalam sejarah nasional Indonesia, agar generasi bangsa dapat mengetahui bagaimana rasa kebangsaan dan rasa ke-Indonesia-an rakyat Aceh terhadap negara Kesatuan Republik Indonesia. Karenanya, Emha Ainun Nadjib (1992) dalam sebuah puisinya menulis: Indonesia berhutang budi padamu, Aceh/Indonesia berterimakasih padamu, Aceh/Indonesia menundukkan muka dan berkata: “Aceh tak perlu kau banggakan dirimu/Sebab akulah Indonesia yang wijib bangga atas pengorbananmu”.
Komentar
Posting Komentar